Persaingan dan kelesuan ekonomi menjepit Holcim Unknown Selasa, 20 Oktober 2015
Kelesuan ekonomi nasional merembet ke industri semen. Demi menyiasati seretnya laju roda bisnis, pelaku industri menempuh sejumlah cara, seperti efisiensi.
Salah satu strategi efisiensi adalah memangkas jumlah karyawan, seperti dilakukan PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB). Pada Mei tahun ini, SMCB menjalankan Program Pisah Terbatas dalam rangka efisiensi organisasi.
Program itu dilakukan SMCB dan sejumlah anak usaha tertentu, yakni PT Holcim Beton dan Readymix Concrete. Untuk menjalankan program itu, SMCB mencatatkan biaya Rp 193,7 miliar.
Adapun Holcim Beton dan Readymix masing-masing mencatatkan beban Rp 28,96 miliar dan Rp 7,57 miliar. Memang ada pengeluaran dari program ini, tapi pos pengeluaran gaji sepanjang semester I-2015 turun menjadi Rp 229,83 miliar, dari sebelumnya Rp 298,07 miliar.
"Efisiensi karyawan memang biasa terjadi, tapi kalau sekadar mengurangi pegawai di pabrik yang sudah lama beroperasi itu kurang efektif. Soalnya, komponen beban pokok terbesar produksi semen masih dari sisi harga bahan bakar," jelas Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner Investa Saran Mandiri kepada KONTAN, kemarin (19/10).
Sebenarnya isu ini tidak hanya melanda SMCB, tapi juga dua pemain besar semen lain, yakni PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP). Tapi kedua pemain ini masih memiliki penetrasi pasar yang kuat, sehingga bisa mengimbangi sentimen itu.
Pangsa pasar Sedangkan SMCB, yang pangsa pasarnya paling kecil ketimbang SMGR dan INTP, cukup berat menghadapi pelambatan ekonomi ini. Pangsa pasar SMCB kecil karena memang basis produksinya tak sebesar dua pemain itu.
Sehingga, efisiensi yang ditempuh dinilai kurang efektif. Mayoritas permintaan semen masih berasal dari Jawa, apalagi sekarang tengah gencar proyek infrastruktur. Sejatinya, SMCB mempunyai basis produksi dan distribusi di bagian selatan pulau Jawa.
Sayang, di wilayah itu juga basis INTP. Jika maju ke Jawa Timur, maka akan berhadapan dengan SMGR. "Jadi, sebenarnya posisi SMCB ini kejepit," imbuh Kiswoyo. Di Luar Jawa kondisinya sama. Permintaan semen sudah banyak terpenuhi pemain lokal seperti Semen Baturaja, Semen Andalas dan pemain lain.
Fakta seperti ini, ditambah utang yang cukup besar, menyebabkan fundamental SMCB kurang menarik.
Marwan Halim, analis UOB Kay Hian Securities Indonesia dalam risetnya kemarin (19/10) menjelaskan, penjualan semen nasional pada September sebanyak 5,7 juta metrik ton, tumbuh 6,3% ketimbang bulan sebelumnya.
Dari tiga pemain besar itu, hanya penjualan SMCB yang menyusut. "Penjualan SMCB month-on-month turun 0,8% menjadi 891.000 ton karena lemahnya penjualan SMCB di Jawa," tambah Marwan.
Liliana S Bambang, analis Mandiri Sekuritas, dalam riset pada 13 Oktober menulis, secara historis, realisasi belanja pemerintah naik pada kuartal ketiga dan lebih kuat lagi di kuartal keempat.
Dus, ada optimisme penjualan semen. Tapi di sisi lain, ada risiko eksekusi dan permintaan properti yang lemah. Ini berlaku untuk industri semen. Melihat fundamental SMCB yang kurang kuat, tekanan ini bakal berdampak bagi SMCB.
Kiswoyo merekomendasikan sell SMCB dengan target Rp 1.000. Marwan merekomendasikan hold dengan target Rp 1.110. Analis Indopremier Securities, Chandra Pasaribu, juga menyarankan hold dengan target Rp 1.140. Harga SMCB kemarin di posisi Rp 1.060 per saham.
Sumber: Kontan