Jokowi Sebut Harga Gas di RI Kemahalan, Ini Penyebabnya Unknown Rabu, 05 Oktober 2016
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut harga gas bumi untuk industri di dalam negeri mahal dibandingkan negara lain. Padahal, cadangan gas bumi di Indonesia berlimpah.
Singapura, negara yang tak punya sumber gas sama sekali, industrinya bisa menikmati gas dengan harga separuh dari Indonesia. Gas di Malaysia, Vietnam, Thailand juga lebih murah dibanding Indonesia.
"Informasi yang saya terima, harga gas di Indonesia sangat tinggi. Dibandingkan negara lain terutama di ASEAN, harga gas di Indonesia tertinggi mencapai US$ 9,5 per MMBtu. Itu harga yang menurut saya tinggi sekali," kata Jokowi saat membuka rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.
Apa yang membuat harga gas di Indonesia menjadi mahal?
Ada berbagai faktor penyebab, mulai dari mahalnya harga gas di hulu, rantai pasokan yang panjang akibat banyaknya trader yang hanya menjadi calo gas, hingga pengenaan biaya distribusi yang tinggi.
Pertama, Menko Kemaritiman sekaligus Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, pernah mengungkapkan harga gas sudah terlalu mahal sejak di hulu. Saat ini rata-rata harga gas di hulu di atas US$ 4/MMBtu. Luhut ingin harga gas di hulu dapat diturunkan menjadi sekitar US$ 4/MMBtu.
Berdasarkan data yang diperoleh detikFinance dari Kementerian ESDM, harga gas yang dialokasikan untuk industri kebanyakan sudah di atas US$ 6/MMBtu sejak di hulu. Data ini harga per Agustus 2016.
Misalnya gas dari Lapangan Jatirangon (Jawa Barat) harganya US$ 6,75/MMBtu, gas dari Lapangan Wunut (Jawa Timur) US$ 6,75/MMBtu, gas dari Sumur Benggala (Medan) US$ 8,49/MMBtu, gas dari Lapangan Suryaragi (Cirebon) US$ 7,5/MMBtu, gas dari Lapangan Pangkalan Susu (Medan) US$ 8,48/MMBtu, gas dari Blok WMO (Jawa Timur) US$ 7,99/MMBtu, gas dari Jambi Merang (Jambi) US$ 6,47/MMBtu, dan gas dari Blok Kangean (Jawa Timur) US$ 6,35/MMBtu.
Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan kini sedang berupaya menurunkan harga gas di hulu, dengan mengurangi pendapatan negara dari gas. Ke depan, pemerintah tidak akan menjadikan gas sebagai sumber pendapatan, melainkan sebagai pendorong perekonomian nasional
Kedua, di rantai pasokan gas terlalu banyak, ada trader tak bermodal infrastruktur yang hanya menjadi calo dan pemburu rente saja. Menteri Perindustrian, Airlangga Hartato, sempat mengungkapkan hal ini sebagai salah satu penyebab mahalnya harga gas di Indonesia. Pernyataan Airlangga ini didukung oleh mantan Ketua Tim Reformasi Migas, Faisal Basri.
Dalam tulisan di blog pribadinya yang berjudul 'Lezatnya Berburu Rente dari Bisnis Gas', Faisal mengungkapkan, ada sekitar 60 perusahaan trader atau calo gas di Indonesia, dan hampir semuanya tak punya infrastruktur. Perusahaan ini hanya bertindak sebagai calo pemburu rente saja tanpa modal.
Mereka mendapat alokasi gas, lalu menjualnya ke trader lain karena tak punya pipa untuk menyalurkan gas, dan begitu seterusnya hingga ke pembeli akhir. Trader ini membuat rantai pasokan gas menjadi panjang, harga gas di Indonesia menjadi tidak efisien.
Contoh gamblang yang membuat harga gas sangat mahal adalah yang dialami oleh pengguna akhir PT Torabika. Gas yang dibeli oleh PT Torabika berasal dari sumber gas Bekasi yang berlapis-lapis calonya.
Tangan pertama (A) menjual gas ke trader lain (B) dengan harga US$ 9/MMbtu. Lalu trader B ini menjual kembali ke trader ketiga (C) dengan harga US$ 11,75/US$ dengan menggunakan pipa open access 24 inchi milik Pertagas dengan toll fee US$ 0,22/MMbtu. Tanpa susah payah, trader B ini memperoleh margin atau keuntungan US$ 2,53/MMbtu dari penjualan ke trader C.
Belum berhenti sampai di siti, trader C yang memiliki pipa gas 12 inchi hanya 950 meter, menjual lagi gas tersebut ke trader keempat (D) dengan harga US$ 12,25/MMbtu. Trader C memperoleh margin US$ 0,5/MMbtu, dengan modal pipa tak sampai 1 kilometer (km).
Sementara trader D bermodal pipa 6 inchi sepanjang 182 meter, menjual gas akhir kepada Torabika US$ 14,5/MMbtu. Trader D memperoleh margin US$ 2,25/MMbtu. Dari hasil itu, harga dari trader pertama sampai ke pembeli akhir terkerek dari US$ 9,00/MMBtu menjadi US$ 14,50 atau menggelembung sebesar US$ 5,5/MMBtu.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian ESDM sebenarnya telah mewajibkan trader membangun infrastruktur lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 06 Tahun 2016. Gas tak boleh dijual secara bertingkat-tingkat lewat trader tak bermodal. Tapi Permen ESDM 06/2016 ini masih memberikan masa transisi selama 2 tahun. Artinya, trader bermodal kertas masih bisa bernafas sampai 2018.
Ketiga, mahalnya biaya distribusi juga menjadi sumber masalah. Ini tergambar dari harga gas untuk industri Jawa Barat yang mencapai sekitar US$ 9/MMBtu. Di hulu, gas yang berasal dari Lapangan Grissik, Randegan, Pagar Dewa, Jatirangon dan Suryaragi harganya antara US$ 5,33/MMBtu hingga US$ 7,5/MMBtu.
Lalu gas dialirkan lewat pipa transmisi South Sumatra West Java (SSWJ) ke Jawa Barat. Ada tol fee, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%, dan margin untuk badan usaha pemilik pipa. Harganya jadi sekitar US$ 7/MMBtu.
Lalu ada biaya sebesar Rp 750/m3 atau setara dengan US$ 1,8/MMBtu. Biaya ini diklaim badan usaha sebagai biaya distribusi, pemeliharaan pipa distribusi, dan biaya pengembalian investasi pembangunan pipa gas ke pelanggan. Alhasil, harga gas sampai di industri dengan harga sekitar US$ 9/MMBtu.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, menjelaskan selama ini badan usaha memang bebas menentukan biaya distribusi gas, pemerintah tidak mengaturnya. Tapi agar badan usaha tidak mengenakan biaya distribusi gas yang terlalu tinggi, kini pemerintah akan mengaturnya.
Biaya distribusi akan diatur seperti toll fee dan margin di pipa transmisi, badan usaha tak boleh mengambil keuntungan terlampau besar. "Ini yang sedang kita mau revisi bahwa nanti untuk di distribusi akan ada regulated margin. Jadi tidak terjadi seperti sekarang, misalnya pipanya cuma 2 kilometer tapi ngambilnya US$ 3,5/MMBtu," kata Wirat, beberapa waktu lalu.
Sumber: Detik